FX Harsono – “Suara Dari Pasar”: Instalasi seni rupa yang kritis terhadap kondisi sosial-politik era Orde Baru, dipamerkan di Yogyakarta. Berikut adalah artikel mendalam yang mengupas tuntas salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia, “Suara Dari Pasar” karya FX Harsono.

Menggugat dalam Senyap: Bedah Instalasi “Suara Dari Pasar” (1995) karya FX Harsono
Oleh: MELEDAK77
Pada Tanggal: 31/12/2025
Tahun 1995 merupakan masa yang paradoks bagi Indonesia. Di satu sisi, negara sedang merayakan “50 Tahun Indonesia Emas” dengan kemegahan pembangunan. Namun di sisi lain, tekanan terhadap suara-suara kritis semakin menguat di bawah rezim Orde Baru. Di tengah ketegangan sensor dan kontrol politik inilah, FX Harsono, salah satu pionir Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), menghadirkan sebuah karya instalasi monumental berjudul “Suara Dari Pasar”.
Karya ini bukan sekadar objek estetik, melainkan sebuah tindakan subversif yang menggunakan simbol-simbol keseharian untuk membicarakan hilangnya kedaulatan rakyat dan represi sistemik.
1. Sosok FX Harsono: Seniman sebagai Aktivis Visual
Untuk memahami “Suara Dari Pasar”, kita harus mengenal FX Harsono. Sejak tahun 1970-an, Harsono telah menolak pakem seni rupa tradisional yang hanya mementingkan keindahan visual (seni lukis dekoratif). Baginya, seni adalah alat untuk berkomunikasi, memprotes, dan merekam realitas sosial.
Ia percaya bahwa seniman memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan ketidakadilan. Pada pertengahan 90-an, ketika ruang bicara di media massa dibatasi melalui pembredelan (seperti kasus TEMPO, Editor, dan Detik pada 1994), Harsono beralih ke medium instalasi untuk menciptakan ruang dialog alternatif yang sulit disensor secara konvensional oleh pemerintah.
2. Deskripsi Karya: Simbolisme Objek Pasar
Instalasi “Suara Dari Pasar” terdiri dari elemen-elemen yang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, namun disusun sedemikian rupa untuk menciptakan rasa ngeri dan intimidasi.
Elemen Utama:
-
Tumpukan Sandal dan Sepatu Bekas: Objek ini merepresentasikan “rakyat jelata” atau massa. Sandal jepit yang usang adalah simbol masyarakat kelas bawah yang paling sering menjadi korban pembangunan.
-
Stempel Kayu Raksasa: Harsono menghadirkan stempel-stempel besar yang menggantung atau berada di atas tumpukan alas kaki tersebut.
-
Diksi dalam Stempel: Pada permukaan stempel, terukir kata-kata seperti “SETUJU”, “MENURUT”, atau “IKUT”.
-
Warna Merah: Penggunaan warna merah pada tinta stempel dan beberapa elemen lainnya memberikan kesan darah, kekerasan, dan urgensi.
3. Analisis Makna: Kritik Terhadap Budaya “Asal Bapak Senang”
Judul “Suara Dari Pasar” merujuk pada pasar sebagai pusat denyut nadi ekonomi dan sosial rakyat kecil. Namun, alih-alih mendengar suara aspirasi, yang ada justru adalah penyeragaman suara.
Penyeragaman dan Stempel Birokrasi
Dalam rezim otoriter, rakyat tidak diberi ruang untuk berkata “TIDAK”. Stempel-stempel bertuliskan “SETUJU” melambangkan bagaimana birokrasi negara memaksakan kesepakatan semu. Rakyat dipaksa untuk setuju terhadap penggusuran tanah, setuju terhadap kebijakan upah murah, dan setuju terhadap kepemimpinan tunggal.
Alas Kaki: Identitas yang Terinjak
Penggunaan sepatu dan sandal bekas yang menumpuk tanpa pemilik memberikan kesan anonimitas. Ini adalah gambaran tentang bagaimana individu dalam masyarakat kehilangan identitas personalnya dan hanya dianggap sebagai “angka” atau “massa” yang bisa diatur oleh negara. Tumpukan sepatu ini juga mengingatkan penonton pada sisa-sisa tragedi—seperti pembersihan massal atau penghilangan paksa—di mana hanya barang peninggalan yang tersisa.
4. Konteks Politik 1995: Menjelang Akhir Orde Baru
Mengapa karya ini begitu kuat pada tahun 1995? Saat itu, Indonesia sedang berada di puncak stabilitas yang semu. Pemerintah sangat sensitif terhadap simbol-simbol yang dianggap menghina martabat negara.
Harsono dengan cerdik menggunakan “Pasar” sebagai kedok. Secara permukaan, ia seolah-olah hanya memotret hiruk-pikuk pasar. Namun, bagi audiens yang jeli, stempel-stempel tersebut adalah sindiran tajam terhadap sistem Pemilu dan proses pengambilan keputusan di DPR/MPR masa itu yang sering kali dianggap hanya sebagai “tukang stempel” kebijakan penguasa.
5. Estetika Partisipatif: Melibatkan Penonton
Salah satu kekuatan “Suara Dari Pasar” adalah bagaimana ia memposisikan penonton. Saat berjalan di antara tumpukan sandal dan stempel-stempel besar yang menggantung, penonton merasa terancam. Mereka seolah-olah akan “distempel” atau dipaksa masuk ke dalam sistem yang kaku tersebut.
Harsono menggunakan teknik seni rupa kontekstual. Karya ini tidak berdiri sendiri di ruang hampa, ia membutuhkan memori kolektif penonton tentang penindasan untuk dapat berfungsi sepenuhnya sebagai sebuah kritik.
6. Warisan dan Relevansi di Era Modern
Meskipun Orde Baru telah runtuh pada 1998, “Suara Dari Pasar” tetap relevan hingga hari ini. Karya ini menjadi pengingat tentang bahaya penyeragaman suara dalam demokrasi.
Di era digital, “stempel” tersebut mungkin telah berubah bentuk menjadi algoritma atau tekanan massa di media sosial (cancel culture), namun esensinya tetap sama: upaya untuk membungkam perbedaan pendapat dan memaksa individu untuk selalu “SETUJU” dengan arus utama.
Mengapa Karya ini Menjadi Tonggak Sejarah?
-
Keberanian Subjektif: Menantang narasi pemerintah di saat risiko dipenjara sangat tinggi.
-
Inovasi Medium: Memperkenalkan seni instalasi sebagai bahasa politik yang efektif di Indonesia.
-
Pengaruh pada Seniman Muda: Menginspirasi generasi seniman pasca-reformasi untuk terus menjaga integritas seni sebagai fungsi kontrol sosial.
Kesimpulan: Suara yang Tak Pernah Padam
“Suara Dari Pasar” adalah bukti bahwa seni rupa mampu menjadi saksi sejarah yang jujur. Melalui benda-benda sederhana seperti sandal bekas dan stempel kayu, FX Harsono berhasil mengabadikan jeritan sunyi sebuah bangsa yang saat itu sedang merindukan kebebasan.
Karya ini mengajarkan kita bahwa seni bukan sekadar penghias dinding, melainkan sebuah cermin yang terkadang memperlihatkan sisi gelap diri kita dan masyarakat kita, agar kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

