GSRB: Gerakan Seni Rupa Baru sebuah revolusi estetika yang mengubah wajah seni rupa 90 an

GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru) Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB): Semangat gerakan ini (yang dimulai akhir 70-an) memuncak di tahun 90-an. Seniman menolak batasan seni “indah” dan lebih fokus pada konsep dan pesan sosial.

Menggugat Kemapanan: Jejak Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dalam Estetika Kontemporer Indonesia

Oleh: MELEDAK77
Pada Tanggal: 25/12/2025

gsrb

Dalam sejarah panjang kesenian Indonesia, tidak ada ledakan yang lebih mengguncang pilar-pilar tradisi selain lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Dimulai sebagai percikan pemberontakan mahasiswa seni pada pertengahan 1970-an, gerakan ini mencapai titik kulminasi intelektualnya pada dekade 1990-an, menjadi fondasi utama bagi apa yang sekarang kita kenal sebagai Seni Rupa Kontemporer Indonesia. GSRB bukan sekadar gaya lukis baru; ia adalah dekonstruksi terhadap definisi “seni” itu sendiri.

1. Latar Belakang: Melawan “Seni Lukis Elitis”

Untuk memahami GSRB, kita harus melihat kondisi seni rupa Indonesia di awal 1970-an. Saat itu, dunia seni didominasi oleh pakem akademis yang mapan, terutama yang diajarkan di lembaga seperti ITB (Bandung) dan ASRI (Yogyakarta). Seni rupa saat itu dianggap harus “indah”, “estetis”, dan terbatas pada media konvensional seperti lukisan cat minyak di atas kanvas atau patung perunggu.

Seni rupa menjadi sangat elitis dan terputus dari realitas sosial masyarakat. Para seniman muda, yang kemudian membentuk GSRB, merasa bahwa seni rupa Indonesia sedang terjebak dalam “menara gading”. Mereka melihat bahwa kenyataan di jalanan—kemiskinan, ketidakadilan politik Orde Baru, dan konsumerisme—tidak tercermin dalam kanvas-kanvas cantik yang dipajang di galeri eksklusif.

2. Kelahiran Sang Pemberontak (1975)

GSRB lahir secara resmi pada tahun 1975 melalui pameran bertajuk “Pasaraya Dunia Fantasi” di Jakarta. Tokoh-tokoh awalnya seperti Jim Supangkat, Nyoman Nuarta, Dede Eri Supria, Hardi, FX Harsono, dan Nanik Mirna mengusung manifesto yang sangat berani.

Mereka mengeluarkan Manifesto Seni Rupa Baru yang berisi poin-poin radikal:

  • Menolak Batasan Seni: Seni tidak harus berupa lukisan atau patung. Benda apa pun bisa menjadi seni.

  • Menghapus Kasta Seni: Tidak ada perbedaan antara “seni murni” (fine art) dan “seni terapan” (craft/design).

  • Seni Harus Berbicara: Seni adalah alat komunikasi sosial, bukan sekadar dekorasi dinding.

  • Keindonesiaan yang Nyata: Menolak mengikuti tren Barat secara buta dan memilih mengangkat realitas lokal Indonesia yang mentah.

3. Transformasi Medium: Dari Kanvas ke Instalasi

Salah satu sumbangan terbesar GSRB adalah pengenalan Seni Instalasi dan Seni Performa di Indonesia. Jika sebelumnya penonton hanya berdiri diam menatap lukisan, GSRB memaksa penonton untuk masuk ke dalam karya tersebut.

Mereka menggunakan material “sampah” atau benda sehari-hari (ready-mades). Misalnya, penggunaan ban bekas, baju bekas, hingga plastik kiloan untuk menciptakan sebuah narasi. Hal ini mengirimkan pesan kuat: bahwa keindahan tidak terletak pada mahal atau mewahnya material, melainkan pada kekuatan ide atau konsepnya. Inilah yang kemudian memicu lahirnya era Conceptual Art di tanah air.

4. Puncak Kejayaan di Era 90-an: Seni sebagai Perlawanan

Meskipun dimulai di tahun 70-an, semangat GSRB menemukan momentum paling kritisnya pada tahun 1990-an. Pada dekade ini, rezim Orde Baru berada di puncak kekuasaan namun sekaligus mulai menunjukkan retakan besar. Sensor terhadap karya seni sangat ketat.

Di sinilah para “ahli waris” GSRB dan para pendirinya yang masih aktif (seperti FX Harsono dan Heri Dono) menggunakan estetika baru ini untuk melakukan kritik tersembunyi. Karena pesan sosial yang mereka sampaikan seringkali dibalut dalam bentuk simbolisme yang kompleks atau instalasi yang abstrak bagi aparat, mereka berhasil meloloskan pesan-pesan subversif ke ruang publik.

  • FX Harsono melalui karyanya “The Voice” (1994) menggunakan sepatu bot dan tangan-tangan kayu untuk menggambarkan represi militer.

  • Heri Dono menggunakan elemen wayang yang didekonstruksi untuk menyindir birokrasi yang korup melalui humor gelap.

5. Hubungan dengan Masyarakat: Seni yang “Turun ke Bumi”

GSRB berhasil mendemokrasikan seni. Mereka meruntuhkan mitos bahwa seniman adalah sosok jenius yang terasing. Bagi GSRB, seniman adalah bagian dari warga negara yang memiliki kewajiban moral untuk merespons keadaan sekitarnya.

Pada tahun 90-an, pameran-pameran seni rupa baru mulai keluar dari galeri konvensional dan merambah ruang publik, trotoar, hingga pasar. Hal ini membuat seni rupa menjadi lebih relevan bagi orang awam. Mereka tidak lagi bertanya “Apa arti lukisan ini?”, tetapi “Bagaimana masalah ini berkaitan dengan hidup saya?”.

6. Kritik dan Kontroversi

Tentu saja, jalan GSRB tidak mulus. Mereka dihujat oleh para kritikus seni senior sebagai perusak nilai-nilai luhur seni. Karya mereka disebut sebagai “bukan seni” atau sekadar “sampah yang dipindahkan ke galeri”. Namun, justru hujatan inilah yang membuktikan bahwa GSRB berhasil mengusik kemapanan. Perdebatan antara penganut “seni indah” dan “seni konsep” menjadi diskusi intelektual paling menarik dalam sejarah kebudayaan Indonesia.

7. Warisan GSRB bagi Seniman Muda Masa Kini

Saat ini, di tahun 2025, pengaruh GSRB masih terasa sangat kuat. Setiap kali kita melihat instalasi digital di museum modern, atau mural jalanan yang sarat pesan politik, atau seniman yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengkritik isu lingkungan, itu adalah gema dari perjuangan GSRB.

GSRB mengajarkan bahwa:

  1. Kebebasan adalah mutlak: Seorang seniman tidak boleh didikte oleh pasar atau otoritas estetik tertentu.

  2. Kepekaan Sosial: Seni rupa tanpa keterlibatan sosial hanyalah pajangan hampa.

  3. Inovasi Tanpa Batas: Jangan takut menggunakan medium baru, sekecil atau seremeh apa pun medium tersebut.

8. Penutup: Melampaui Estetika

Gerakan Seni Rupa Baru bukan sekadar bab dalam buku sejarah. Ia adalah semangat. Ia membuktikan bahwa di bawah tekanan politik yang represif sekalipun, kreativitas manusia akan selalu menemukan cara untuk meledak dan menyuarakan kebenaran. GSRB telah mengubah kanvas Indonesia dari yang tadinya hanya “jendela pemandangan indah” menjadi “cermin retak” yang memaksa kita melihat borok dan kenyataan bangsa sendiri.

Melalui GSRB, seni rupa Indonesia berhasil menemukan jati dirinya yang paling jujur: tidak selalu indah untuk dipandang, namun selalu penting untuk didengar.


Di Tulis Ulang Oleh Meledak77

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top