Jelmaan Kesombongan: Satir Politik dan Dekonstruksi Karakter Petruk 2024

Jelmaan Kesombongan” oleh Butet Kartaredjasa: Dipamerkan di Galeri Nasional (April-Mei 2024), patung ini berbentuk sosok Petruk dengan hidung Pinokio dan wajah emas. Karya ini sangat viral karena dianggap sebagai kritik tajam terhadap situasi politik di Indonesia.

 

Jelmaan Kesombongan: Satir Politik dan Dekonstruksi Karakter Petruk dalam Tatapan Butet Kartaredjasa

Oleh: MELEDAK77
Pada Tanggal: 25/12/2025

Seni rupa di Indonesia sering kali menjadi garda terdepan dalam menyampaikan kritik yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. Di tengah panasnya suhu politik tahun 2024, Butet Kartaredjasa menghadirkan pameran tunggal bertajuk “Melirik Republik” di Galeri Nasional Indonesia. Di antara deretan karya yang dipamerkan, satu patung berdiri mencolok dan mengundang diskusi publik yang luas: sosok Petruk dengan hidung panjang menyerupai Pinokio dan sapuan warna emas yang berkilau, yang diberi judul “Jelmaan Kesombongan”.

1. Simbolisme Karakter: Petruk yang Tak Lagi Jenaka

Dalam dunia pewayangan, Petruk adalah bagian dari Punakawan yang dikenal sebagai rakyat jelata yang bijak, jenaka, dan setia. Ada lakon terkenal berjudul Petruk Dadi Ratu (Petruk Menjadi Raja), yang menceritakan bagaimana seorang rakyat kecil mendapatkan kekuasaan namun tetap diingatkan untuk tidak lupa daratan.

Namun, dalam “Jelmaan Kesombongan”, Butet melakukan dekonstruksi total terhadap karakter ini:

  • Hidung Pinokio: Penggabungan elemen lokal (Petruk) dengan simbol Barat (Pinokio) adalah pernyataan visual yang gamblang. Hidung panjang Pinokio secara universal dikenal sebagai simbol kebohongan. Dengan menempelkan hidung ini pada sosok yang sedang berpose layaknya penguasa, Butet mengisyaratkan adanya narasi dusta yang dipelihara di singgasana kekuasaan.

  • Warna Emas: Emas melambangkan kejayaan, kekayaan, dan kemewahan. Namun, dalam konteks judul “Kesombongan”, warna emas ini menjadi simbol dari sifat serakah dan pemujaan terhadap materi serta jabatan. Emas di sini bukan melambangkan kemuliaan hati, melainkan topeng yang menutupi kebusukan niat.

2. Konteks Sosiopolitik 2024

Karya ini tidak lahir di ruang hampa. Tahun 2024 adalah tahun pemilu di Indonesia, masa di mana janji-janji politik bertebaran dan konsolidasi kekuasaan terjadi secara masif. Butet, yang selama ini dikenal sebagai seniman yang vokal terhadap isu-isu demokrasi, menggunakan patung ini untuk memotret fenomena kepemimpinan yang ia anggap telah melenceng dari etika.

“Jelmaan Kesombongan” menjadi representasi dari sosok yang merasa paling benar, paling berkuasa, dan menutup telinga dari kritik rakyat. Pose patung tersebut yang tampak congkak menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa mengubah watak “rakyat” (Petruk) menjadi sosok yang asing dan angkuh ketika sudah menggenggam otoritas.

3. Estetika dan Teknik: Kekuatan Material

Secara teknis, Butet menunjukkan kematangannya dalam memadukan narasi tradisional dengan eksekusi modern. Patung ini memiliki detail yang sangat halus, namun memberikan kesan “berat” secara emosional. Penggunaan media campuran menunjukkan bahwa seni rupa kontemporer kita sangat luwes dalam mengadopsi berbagai simbol budaya populer untuk memperkuat pesan inti.

Wajah emas yang mengilap menciptakan pantulan bagi siapa pun yang melihatnya. Secara filosofis, ini seolah-olah mengajak pengunjung untuk bercermin: “Apakah kita juga bagian dari sistem yang membiarkan kesombongan ini tumbuh?” atau “Apakah kita melihat bayangan pemimpin kita dalam patung ini?”

4. Respon Publik dan Kontroversi

Sebuah karya seni dikatakan berhasil jika ia mampu memicu dialog, dan “Jelmaan Kesombongan” melakukan itu dengan sangat efektif. Di media sosial, foto-foto patung ini menjadi viral. Banyak yang memuji keberanian Butet dalam memanifestasikan kegelisahan rakyat melalui seni. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap karya ini terlalu “vulgar” dalam menyerang figur tertentu.

Keberhasilan pameran di Galeri Nasional ini membuktikan bahwa ruang seni masih menjadi oase bagi kemerdekaan berekspresi. Di saat mimbar-mimbar lain mungkin terasa tertekan, seni rupa menawarkan bahasa metafora yang tetap tajam namun memiliki nilai estetika yang tinggi.

5. Pesan Moral: Pengingat bagi Penguasa

Judul karya ini, “Jelmaan Kesombongan”, adalah sebuah peringatan. Kesombongan adalah dosa tertua dalam peradaban manusia yang sering kali menjadi penyebab jatuhnya kerajaan-kerajaan besar. Melalui sosok Petruk-Pinokio ini, Butet ingin mengingatkan bahwa kekuasaan itu fana. Kebohongan yang ditumpuk setinggi apa pun (dilambangkan dengan hidung yang panjang) pada akhirnya akan terlihat kontras dengan “emas” atau kemuliaan yang dicitrakan.

Kesimpulan: Warisan Seni Perlawanan

“Jelmaan Kesombongan” akan dicatat dalam sejarah seni rupa Indonesia sebagai salah satu karya penting di dekade ini. Ia adalah potret zaman yang menangkap ketegangan antara rakyat, penguasa, dan kebenaran. Butet Kartaredjasa tidak hanya membuat patung; ia membuat monumen peringatan tentang bahaya hilangnya integritas di tengah kemilau kekuasaan.

Karya ini mengajak kita semua untuk kembali ke jati diri Punakawan yang asli: kritis, jujur, dan berpihak pada kebenaran, bukan pada mereka yang hidungnya memanjang karena dusta.


Ingin Menggali Lebih Dalam?

Karena ulasan ini mencakup aspek filosofis yang luas, saya bisa membantu Anda memperinci bagian lain jika diperlukan, seperti:

  1. Perbandingan dengan lakon “Petruk Dadi Ratu” dalam sejarah pewayangan secara lebih teknis.

  2. Analisis karya lain dalam pameran “Melirik Republik” yang juga memiliki muatan kritik serupa.

  3. Dampak hukum dan etika pameran seni yang mengandung kritik politik di Indonesia.

Apakah Anda ingin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top