Seni Jalanan (Street Art) sebagai Bentuk Ekspresi Sosial: Kanvas Beton untuk Suara yang Membangkang

Seni jalanan, atau street art, telah lama melampaui stigma sekadar vandalisme dan menjadi salah satu bentuk ekspresi sosial paling kuat dan jujur di era modern. Dari coretan tangan (tagging) yang sederhana hingga mural raksasa yang detail, jalanan dan dinding-dinding kota telah bertransformasi menjadi galeri terbuka, tempat di mana seniman—sering kali anonim—menyampaikan kritik, kegelisahan, harapan, dan narasi tandingan terhadap isu-isu sosial, politik, dan budaya.
Di Indonesia, di mana ruang publik sering kali dikuasai oleh kepentingan komersial atau dikontrol oleh otoritas, seni jalanan menjadi katup pelepas bagi suara-suara yang terpinggirkan. Ia adalah seni yang tidak perlu izin galeri mahal atau kurator; ia hanya membutuhkan dinding, cat, dan keberanian.
1. Dari Graffiti Pemberontakan ke Mural Kritik Sosial
Seni jalanan modern berakar dari gerakan graffiti di Amerika Serikat, khususnya New York pada tahun 1960-an dan 1970-an. Awalnya, graffiti adalah bentuk tagging (tanda tangan) oleh individu atau kelompok (crew) sebagai penanda wilayah dan identitas subkultur. Ia lahir dari semangat pemberontakan, menyuntikkan kehidupan pada infrastruktur kota yang sering kali suram dan terlantar.
Seiring berjalannya waktu, seni ini berevolusi. Ketika teknik stensil (dipopulerkan oleh seniman global misterius seperti Banksy) dan mural mulai digunakan, seni jalanan beranjak dari sekadar identitas subkultur menjadi media kritik sosial yang cerdas dan mudah dicerna oleh publik.
Perbedaan Teknis dan Tujuan
Meskipun sering disamakan, terdapat perbedaan mendasar antara graffiti dan mural:
- Graffiti: Lebih menekankan pada gaya penulisan, komposisi huruf (lettering), dan kecepatan eksekusi, sering kali dilakukan tanpa izin (illegal). Tujuannya mulanya adalah pengakuan identitas (self-promotion) dan penetrasi subkultur.
- Mural: Seni lukis berukuran besar pada permukaan permanen (dinding). Mural kontemporer sering memiliki komposisi gambar yang realistis atau figuratif dengan pesan naratif yang jelas, menjadikannya media yang sangat efektif untuk menyampaikan kritik sosial-politik. Meskipun beberapa dibuat secara ilegal, banyak mural modern kini dibuat dengan izin atau sebagai proyek komunitas.
Di Indonesia, khususnya sejak era Reformasi, mural dan graffiti menjadi representasi dari kegelisahan sosial dan kritik tajam terhadap pemerintah, korupsi, isu lingkungan, hingga penanganan pandemi.
2. Seni Jalanan Indonesia: Warisan Propaganda dan Kritik
Indonesia memiliki warisan sejarah yang kaya dengan seni yang berfungsi sebagai propaganda dan kritik. Pada masa perjuangan kemerdekaan, tulisan dan gambar-gambar provokatif di dinding digunakan untuk membangkitkan semangat perlawanan.
Setelah kemerdekaan, terutama menjelang dan selama masa Orde Baru, seni jalanan kembali menjadi senjata seniman untuk menyuarakan perlawanan terhadap rezim otoriter. Kelompok-kelompok seni seperti Taring Padi di Yogyakarta dan Apotik Komik menggunakan media street art sebagai alat agitasi dan kampanye isu rakyat, membuktikan bahwa seni jalanan adalah bagian integral dari sejarah aktivisme di Indonesia.
Pada era kontemporer, seniman jalanan Indonesia terus merespons dinamika sosial:
- Isu Politik: Mural kerap muncul di dinding-dinding kota, menyuarakan protes terhadap kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, seperti kenaikan harga, perusakan lingkungan, atau ketidakadilan hukum.
- Isu Kemanusiaan dan Lingkungan: Gambaran-gambaran tentang penggusuran, nasib petani, hingga kerusakan hutan sering menjadi tema utama, secara efektif memaksa pejalan kaki untuk berhenti sesejenak dan merenungkan realitas di sekitar mereka.
- Pandemi COVID-19: Selama pandemi, banyak mural muncul sebagai pengingat akan bahaya virus, kritik terhadap penanganan pemerintah, hingga penghormatan kepada tenaga medis. Ini menunjukkan kemampuan street art untuk merespons peristiwa real-time dengan kecepatan yang tidak dimiliki oleh media seni tradisional.
3. Kontroversi: Antara Ekspresi dan Vandalisme
Meskipun diakui sebagai bentuk seni dan ekspresi, street art selalu berhadapan dengan kontroversi hukum, terutama di Indonesia. Dalam pandangan otoritas, banyak karya, terutama yang dibuat tanpa izin dan mengandung kritik politik, dianggap sebagai vandalisme atau perusakan properti publik dan privat.
Konflik ini sering terjadi di mana-mana:
- Penghapusan Mural Kritis: Sering kali, mural yang memuat kritik terhadap pejabat atau kebijakan pemerintah akan dihapus atau ditutup dengan cepat oleh petugas. Peristiwa penghapusan ini justru memicu perdebatan publik yang lebih besar, mengubah dinding yang dicat ulang menjadi simbol represi kebebasan berekspresi.
- Perebutan Ruang Publik: Bagi seniman jalanan, dinding adalah ruang publik yang seharusnya bebas untuk bersuara. Bagi pemerintah daerah, ruang publik harus tertib dan bersih, sering kali diatur oleh Peraturan Daerah yang melarang coretan tanpa izin.
Pergulatan antara hak seniman untuk berekspresi dan kewenangan pemerintah untuk mengatur ketertiban kota inilah yang menjadikan seni jalanan tetap relevan dan politis.
4. Masa Depan dan Pengakuan Seni Jalanan
Pengaruh global dari seniman seperti Banksy—yang menggabungkan humor gelap dengan komentar sosial yang tajam melalui teknik stensil—telah memengaruhi seniman Indonesia untuk berpikir lebih cerdas dan strategis. Seni jalanan bukan lagi sekadar semprotan cat, melainkan teka-teki visual yang mendorong audiens untuk berdialog.
Di sisi lain, pengakuan terhadap street art semakin meningkat. Beberapa pemerintah kota mulai menyediakan spot atau dinding legal (legal walls) bagi seniman untuk berkarya, mengarahkan energi kreatif mereka ke arah yang konstruktif dan mengurangi vandalisme liar. Bahkan, beberapa karya street art kini diakui sebagai warisan budaya urban dan dilindungi.
Pada akhirnya, seni jalanan adalah cermin yang memantulkan kondisi masyarakat perkotaan Indonesia. Ia adalah demonstrasi kecil yang berlangsung setiap hari, sebuah kanvas beton tempat ide, protes, dan harapan disuarakan tanpa filter, menjadikannya salah satu bentuk ekspresi sosial yang paling jujur dan paling berani dalam peta seni rupa kontemporer.